Sabtu, 12 Januari 2008

Tenzing Norgay (fw dari sahabat)

Mungkin Anda pernah membaca atau mendengar nama Tenzing Norgay ...mungkin juga belum...bagaimana kalau nama Sir Edmund Hillary... Ya, Sir Edmund Hillary adalah orang pertama di dunia yang berhasil mencapai puncak gunung tertinggi dunia Puncak Gunung Everest. Tetapi saat ini bukan Sir Edmund Hillary yang akan kita bahas, tetapi Tenzing Norgay.
Tenzing Norgay seorang penduduk asli Nepal yang bertugas sebagai pemandu bagi para pendaki gunung yang berniat untuk mendaki gunung Everest. Tenzing Norgay menjadi pemandu (orang nepal menyebutnya Sherpa) bagi Sir Edmund Hillary. Pada tanggal 29 Mei 1953 jam 11.30, Tenzing Norgay bersama dengan Sir Edmund Hillary berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi Everest pada ketinggian 29,028 kaki diatas permukaan laut dan menjadi orang pertama didunia yang kemudian menjadi inspirasi dan penyemangat bagi ratusan pendaki berikutnya untuk mengikuti prestasi mereka. Pada rentang waktu tahun 1920 sampai dengan tahun 1952, tujuh tim ekspedisi yang berusaha menaklukkan Everest mengalami kegagalan.
Keberhasilan Sir Edmund Hillary pada saat itu sangat fenomenal mengingat baru berakhirnya Perang Dunia II dan menjadi semacam inspirator untuk mengembalikan kepercayaan diri bagi seluruh bangsa di dunia. Karena keberhasilannya, Sir Edmund Hillary mendapatkan gelar kebangsawanan dari Ratu Inggris yang baru saja dilantik saat itu Ratu Elizabeth II dan menjadi orang yang paling dikenal di seluruh dunia.
Tetapi dibalik keberhasilan itu Tenzing Norgay memiliki peran yang sangat besar, mengapa Tenzing Norgay tidak menjadi terkenal dan mendapatkan semua yang didapatkan oleh Sir Edmund Hillary padahal ia adalah sang pemandu yang membantu dan mengantarkannya mencapai Puncuk Mount Everest? Seharusnya bisa saja ia lah orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Mount Everest bukan Sir Edmund Hillary.
Sesaat setelah Sir Edmund Hillary bersama Tenzing Norgay kembali dari puncak Mount Everest, hampir semua reporter dunia berebut mewawancarai Sir Edmund Hillary, dan hanya ada satu reporter yang mewawancarai Tenzing Norgay, berikut cuplikannya :
Reporter : Bagaimana perasaan Anda dengan keberhasilan menaklukkan puncak gunung tertinggi di dunia?
Tenzing Norgay : Sangat senang sekali
Reporter : Andakan seorang Sherpa (pemandu) bagi Edmund Hillary, tentunya posisi Anda berada di depan dia, bukankah seharusnya Anda yang menjadi orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Mount Everest?
Tenzing Norgay : Ya, benar sekali, pada saat tinggal satu langkah mencapai puncak, saya persilakan dia (Edmund Hillary) untuk menjejakkan kakinya dan menjadi orang pertama di dunia yang berhasil menaklukkan Puncak Gunung Tertinggi di dunia....
Reporter : Mengapa Anda lakukan itu???
Tenzing Norgay : Karena itulah IMPIAN Edmund Hillary, bukan impian saya.....impian saya hanyalah berhasil membantu dan mengantarkan dia meraih IMPIAN nya.
Ya, itulah sekelumit kisah tentang seorang pemandu pendaki bernama Tenzing Norgay. Ia tidak menjadi serakah, ataupun iri dengan keberhasilan, nama besar dan semua penghargaan yang diperoleh Sir Edmund Hillary. Ia cukup bangga dapat membantu orang lain mencapai & mewujudkan IMPIAN nya.
Dalam kehidupan sehari-hari atau dalam dunia kerja kita secara pribadi terbiasa atau terkondisikan untuk fokus kepada diri kita sendiri, siapa yang mendapat nama, apa yang kita dapatkan, bonus, penghargaan, insentif dan sebagainya. Sebagai renungan "Bisakah kita menjadi seperti Tenzing Norgay?" .....
Sebenarnya bukan Bisa atau Tidak...tapi MAU atau TIDAK!
from rileks.comlabs. itb.ac.id

Bunda, Menulislah (Original Writing by Reza Ervani)

Bunda, Menulislah
(Original Writing by Reza Ervani)

Ini kisah dalam bingkai waktu yang telah lalu, tapi tak usang, tidak akan pernah pudar dan lekang.

Masa dimana dering telepon genggam belumlah menjadi kebiasaan. Masa dimana surat masihlah berupa untaian kata-kata pilihan di atas selembar kertas wangi dan penuh hiasan. Tinta yang kadang berpendar karena tetesan air mata keharuan menjadi bahasa yang penuh kekuatan antara dua hati yang tak terpisah walau raga berjauhan.

Kala itu, kotak surat adalah jembatan dimana kerinduan dititipkan.
Didalamnya ada ribuan rasa yang mewakili ribuan kalimat jiwa.

Seorang muda, dalam bilik kecil yang sedikit lembab, senantiasa berdoa, semoga esok ia temukan seberkas cinta disana. Tak mengapa jika sampulnya usang, karena yang ingin ia lihat adalah cinta yang terangkai dalam berkas-berkas lipatan di dalamnya.

Kotak itu adalah yang pertama kali ia ketuk sebelum sampai ke pintu persinggahannya selama tiga tahun terakhir. Kadang, senyumnya mengembang, kala sebuah benda putih tampak menunggu disudutnya. Kalaupun tak ia temukan, tak pernah ia berhenti berharap. Atau jika ada sedikit rezeki lebih, ia goreskan kembali penanya di malam-malam tanpa jarak.

Setelah menulis, tak bosan ia tengadahkan tangan, meminta kekuatan agar cita-citanya tak pudar oleh deraan keterbatasan. Di penghujung doa syahdu itu, ia titipkan kalimat indah ....

"Bunda .... Menulislah ... Berikan Nanda Penawar Rindu Ini"

Allahumaghfirlana waliwalidayna warhamhuma kama robbayana shighoro
Sayangi mereka ya Robb, sebagaimana mereka membimbing kami dengan kasih sayangnya ....

Amin

Ditulis di Bandung untuk Bunda dan Ayahanda tercinta
2 Muharram 1429 H