Kamis, 27 Desember 2007

Khayalan Tingkat Tinggi

==Khayalan Tingkat Tinggi (1)==

First.. I just want to say Happy New Year 2008...

akhirnya gw punya waktu untuk mencoba nulis-nulis di blog lagi..hehe..

ide gila ini muncul setelah dlm 2 bulan terakhir ini gw berada di 5 kota yg berbeda, shenzhen, hongkong, singapore, jakarta, batam...

yah.. semua orang yg pernah ke kota2 tersebut diatas gw rasa udah tau lah perbedaan yang mencolok antara 3 kota yg disebut pertama dengan 2 kota terakhir yg gw sebut... dan mungkin akan ada yg berpendapat "ya iyalah beda, kita itu udah ketinggalan jauh, jangan dibandingin gitu donk!!", atau ada juga yg bilang "klo negara bekas jajahan inggris itu pasti lebih bagus daripada bekas jajahan belanda, soalnya inggris itu menjajah tapi sambil membangun negara yg dijajahnya", dan comment - comment lain yg menunjukkan tanda2 pesimistis terhadap negaranya sendiri..

klo dri sudut pandang gw sih, ketiga kota yg gw sebut pertama di atas; hongkong, shenzhen, singapore, pada saat awal mereka memutuskan untuk membangun kota tersebut, misalnya sarana transportasi, telkomunikasi dan fasilitas umum lainnya, pemerintah di negara2 tersebut memiliki perancanaan yg mendetail dan matang bukan hanya untuk 5-10 tahun ke depan, tpi perencanaan untuk 20 tahun atau bahkan 50 tahun ke depan. contoh kecil adalah shenzhen, kota industri di cina, dan ternyata baru berumur 27 tahun, tapi sudah memiliki sarana transportasi kereta bawah tanah, jalan raya yang semuanya sudah 2 arah, bis-bis yg bagus, gedung-gedung pencakar langit, dsb... coba bandingkan dengan ibukota negara yg kita cintai ini, jakarta, yg masih belum memiliki fasilitas transportasi umum yg nyaman dan baik.. pemerintah cina membangun shenzhen hanya dalam waktu 27 tahun!!!...

gw ngga tau apa yang salah dengan negara ini, apakah krn kbanyakan korupsi, semua orang egois, pemerintah sudah tidak dipatuhi lagi, acara- acara stasiun TV banyak yg ngga bermutu, sehingga negara ini seolah olah hanya kumpulan orang- orang yg berjalan sendiri- sendiri tanpa arah yg jelas dengan kepentingan masing- masing yg berbeda-beda...

ketika gw melihat hongkong dan singapore, gw membayangkan jika emang pemerintah ngga sanggup membiayai semua pembangunan fasilitas2 umum yang terencana dengan baik dan hasil berkualitas di tiap provinsi, kenapa pemerintah tidak mencoba untuk mengajak investor yg mau diajak bekerjasama misalkan untuk mengelola sebuah pulau atau kota untuk jangka waktu 15-20 tahun.. jadi sebelum pemerintah menunjuk investor yg berhak mengelola sebuah pulau tersebut, investor tersebut harus mempresentasikan rencana pembangunan selama jangka waktu 15-25 tahun tersebut, mulai dri pembangunan sarana transportasi, perumahan, sekolah, rumash sakit, dll, pemerintah juga harus ikut andil dlm perencanaan tersebut.. kemudaian dlm pelaksanaannya, setelah investor itu menyelesaikan tugasnya, maka investor tersebut diberikan kesempatan untuk mengelola kota tersebut untuk jangka waktu yang menengah 15-25 tahun. pada saat investor mash menjadi pengelola pulau/kota tersebut, maka sebaiknya dibikin pembagian prosentase pendapatan dari pulau tersebut, brapa persen akan menjadi hak milik investor, dan berapa persen untuk pemerintah (tentunya pada selama masa ini, persentase investor harusnya lebih besar daripada pemerintah), misalkan 70-80% investor, 30-20% pemerintah.
jadi kerjasama tersebut dibagi dalam 2 tahap: tahap pembangunan skaligus pengelolaan yg di mulai dari tahun ke 0 sampai tahun ke 15 atau 20, dan tahap pengelolaan, pemeliharaan serta transisi pengelolaan dari investor ke pemerintah yang dimulai dari tahun ke 16 atau 21 sampai tahun ke 50(maksimal).. Setelah tahun ke 50, maka semua hasil pembangunan investor menjadi hak milik pemerintah dan kerja sama dengan investor untuk pemeliharaan bisa dilanjutkan dengan sistem pembagian prosentase yg lebih adil dan pembagian tanggung jawab yg jelas, atau pemerintah memutuskan untuk mengelola sendiri...

Investor berkewajiban untuk melengkapi semua fasilitas dengan sistem informasi yang terintegrasi dan memiliki daya tahan yang lama...

dengan cara itu, gw rasa pemerintah akan terbantu untuk memaksimalkan potensi pendapatan dari sebuah daerah.. rugi???gw rasa ngga akan rugi,apalagi jika dipikirkan brapa modal yg dibutuhkan untuk membangun sebuah pulau/kota yang biasa2 saja atau bahkan terbelakang menjadi pulau/kota yang memiliki sdm berkualitas dan membantu memberikan devisa..

ada syarat tambahan donk: peraturan pemerintah yg jelas, dan tidak ada unsur korupsi...hehe

yah, emang ide yg agak aneh ya??gpp lah, at least gw ngga mau ngeliat bangsa ini hancur karena ulan anak bangsa-nya sendiri...

Jakarta,
01-01-2008

Minggu, 09 Desember 2007

Warung Jujur

Seandainya kita semua bisa hidup saling jujur dan percaya seperti tulisan yang gw ambil dari eramuslim.com ini.

hidup akan terasa lebih hidup... :)


Taken from www.eramuslim.com

Oleh Sabrul Jamil

Salah satu kampus tempat saya mengajar mempunyai suatu sudut yang cukup unik dan menggelitik. Sudut tersebut adalah sebuah warung. Namun bukan warung sembarang warung. Karena tidak sebagaimana lazimnya warung, tempat tersebut tidak memiliki penjaga, pelayan atau satu manusia pun yang bertugas mengawasi warung tersebut.

Para pembeli dipersilakan mengambil sendiri barang yang diinginkan, yang terdiri dari beraneka makanan ringan, minuman ringan, dan hal-hal lainnya yang ringan di kantong (maklum, untuk konsumsi mahasiswa). Sementara itu uang pembelian diletakkan di kotak kardus bekas salah satu makanan ringan. Kalau perlu uang kembalian juga tinggal hitung sendiri, dan ambil sendiri. Praktis sekali bukan?

Secara periodik, si pemilik warung yang tak lain adalah Office Boy (Anda tentu tahu jenis profesi yang satu ini) akan mengupdate stok barangnya. Mencatat yang sudah habis, dan mengisinya kembali. Daftar harga terpampang di salah satu dinding, dengan tulisan tangan yang tidak bagus namun cukup jelas terbaca.

Cara ini sudah berjalan berbulan-bulan, yang menandakan bahwa bisnis ini mampu bertahan. Artinya, keuntungan dari bisnis cukup memadai untuk membuatnya tetap layak dilanjutkan.

Warung ini diberi nama “Warung Jujur”. Nama yang mengindikasikan bahwa transaksi yang terjadi di sini haruslah berlandaskan kejujuran. Kejujuran juga menyiratkan kesalingpercayaan. Ini juga mengindikasikan bahwa civitas academica di kampus tersebut adalah orang-orang yang bisa dipercaya. Bahkan, lolosnya ide untuk membuat Warung Jujur tersebut tentu berangkat dari budaya saling mempercayai yang kuat di lingkungan tersebut.

Tidak ada kamera tersembunyi yang dibuat demi “keamanan Anda” sebagaimana di Mall-mall besar dan modern. Tidak ada satpam bertubuh gagah yang diam-diam mengawasi Anda. Juga tidak ada alarm yang akan meraung-raung jika Anda membawa barang tanpa melewati mesin dan petugas kasir. Sungguh efisien! Berapa banyak biaya investasi dan operasional yang dapat dipangkas dengan adanya kejujuran.

Namun, lain di dalam gedung, berbeda pula di luarnya. Di halaman parkir kampus tersebut, bertebaran tulisan peringatan di beberapa tempat: “Harap Gunakan Kunci Pengaman Ganda untuk Kendaraan Anda!” Rupanya sudah beberapa kali terjadi pencurian kendaraan bermotor di pelataran parkir tadi.

(Ngomong-ngomong, berapa banyak tulisan seperti itu Anda temui di pelataran-pelataran parkir?)

Saya jadi teringat artikel Rhenald Kasali di majalah Swa beberapa tahun yang lalu. Berikut petikannya,

Dalam salah satu seminar saya pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka. Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama orang dari tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda tangan seruwet itu, semuanya menjawab bak koor, "Biar tidak mudah ditiru orang lain. " Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak jawabnya.

Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar tidak mudah percaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru agar jangan sampai dipalsukan orang lain. " Kita menurutinya, dan tanpa kita sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita.

"Trust, " kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and the creation of prosperity. " Rasa percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak ada rasa percaya, mestinya tidak ada bisnis. Bagaimana mungkin kita berbisnis dengan orang yang tidak Kita percaya?

Sekian kutipannya.

Salahkah jika kita tidak mudah percaya? Ketidakpercayaan adalah buah dari budaya tidak dapat dipercaya. Jika kita membuat janji bertemu seseorang pada pukul tiga sore, yakinkah Anda bahwa orang itu akan datang tepat pada waktu yang dijanjikan? Tergantung dengan siapa Anda berjanji. Jika Anda mengenal orang itu sebagai orang yang terbiasa tepat waktu, maka Anda akan merasa yakin bahwa orang itu akan datang tepat waktu. Namun jika Anda tahu orang itu terbiasa ngaret, Anda akan memprediksi ‘ah paling-paling dia ngaret lagi’. Lebih parah dari itu, Anda pun akan berlalai-lalai. Santai aja, telat juga enggak apa-apa. Demikian pikir Anda.

Sebab itu, jangan heran kalau kita terkadang menerapkan standard ganda, jika berjanji dengan Si-A kita bisa santai, tapi janji dengan si-B kita akan ekstra hati-hati. Janji dengan anak untuk pulang cepat mungkin tidak terlalu kita ambil pusing, namun janji bertemu manajer anu pada jam sekian bisa membuat kita pontang panting mengejar waktu.
Begitulah kalau kita masih menjadi produk dari budaya atau lingkungan kita. Di budaya yang sangat menghargai kejujuran dan ketepatan waktu, kita bisa melecut diri untuk menjadi jujur, disiplin dan sikap-sikap mulia lainnya. Kita akan merasa malu jika berbuat tidak jujur. Rasa malu itu mungkin sangat subyektif sifatnya. Tidak ada hukuman riil di dunia yang menanti kita. Contohnya adalah di Warung Jujur tadi. Kita merasa malu, sudah diberi kepercayaan untuk berbuat jujur, kok malah nyolong. Lebih jauh lagi, kita merasa yakin bahwa Allah beserta staff-Nya mengawasi kita dengan seksama. Tak satu rupiah pun yang lolos dari auditing. Setiap penipuan akan terdeteksi. Setiap kecurangan akan terungkap.

Namun di budaya dengan tingkat kejujuran yang rendah, kita mencuri-curi kesempatan untuk berlalai-lalai, tidak amanah, dan menipu. Kita melupakan asas utama dalam kejujuran, bahwa ada Allah yang senantiasa mengawasi. Kita tidak lagi peduli walau Allah menjadi tidak suka atau bahkan marah. Ah, itu urusan belakangan. Lebih konyol lagi kita berdalih dengan dalil: “yang lain juga berbuat curang. Kalau enggak ikut curang, yaa enggak kebagian!”

Namun mengingat kejujuran pada hakikatnya adalah urusan kita dengan Allah, seharusnya ia tidaklah mengenal musim dan tempat. Jujur seharusnya menjadi pakaian segala musim, dan mata uang di segala tempat. Biarkan orang lain mengenal kita sebagai orang yang kata-katanya bisa dipegang, janjinya bisa ditepati, dan menunaikan amanah dengan optimal.

Biarkan orang-orang terdekat kita mengenal kita sebagai sosok yang bisa dipercaya. Jika kita berjanji pulang cepat pada anak kita, maka penuhi janji itu. Anak akan belajar bahwa kita senantiasa menepati kata-kata kita. Anak pun akan belajar untuk menepati janjinya. Memiliki anak berakhlaq utama adalah rizki tak ternilai harganya.
Kita tak perlu menjadi korban budaya. Di tengah derasnya arus ketidakpercayaan di negeri ini, menjadi orang jujur bisa lebih repot ketimbang berselancar arung jeram. Apalagi kalau tim satu perahu sudah tidak saling percaya.